(mukaddimah bag. 2 – habis)
Ikhwati fillah, melanjutkan tulisan sebelumnya, kali ini saya akan berbicara tentang macam-macam kisah dalam Al Qur’an, faidah dari kisah-kisah tersebut dan beberapa masalah lainnya.
Secara garis besar, kisah-kisah Al Qur’an terbagi menjadi tiga:
Pertama: kisah para Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam,
Kisah semacam ini berisi dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang Allah berikan kepada mereka, sikap orang-orang yang menentang dakwah mereka, tahapan-tahapan mereka dalam berdakwah dan perkembangan dakwah mereka serta akhir dari golongan yang membenarkan dan yang mendustakan.
Contohnya kisah Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, Isa, Muhammad serta para Nabi dan Rasul lainnya shallallaahu ‘alaihim wasallam.
Kedua: kisah yang berkaitan dengan kejadian masa lalu, atau pribadi-pribadi tertentu yang tidak setangguh para Nabi.
Seperti kisah ribuan orang yang keluar dari negerinya karena takut mati (Al Baqarah: 243), kisah Jalut dan Thalut, kedua putera Adam, ashabul kahfi, Dzul Qarnain, Qarun, Maryam, ashabul ukhdud (Al Buruj: 4-9), pasukan gajah (Al Fiil), dan yang semisalnya.
Ketiga: kisah yang berkaitan dengan kejadian-kejadian di zaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Seperti perang Badar dan Uhud dalam surat Aali Imran, atau perang Hunain dan Tabuk dalam surat At Taubah, dan perang Ahzab dalam surat Al Ahzab. Demikian pula kisah hijrah Beliau, kisah mi’raj dan lain sebagainya.[1]
Faidah dari kisah-kisah Al Qur’an
Kisah-kisah Al Qur’an tentu mengandung selaksa faidah, namun yang paling penting diantaranya ialah:
- Menjelaskan pilar-pilar dakwah dan pokok-pokok syariat yang diemban oleh setiap Nabi, yaitu:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ [الأنبياء/25]
“Tidaklah kami mengutus seorang rasul pun sebelummu, kecuali kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada yang patut disembah kecuali Aku, maka beribadahlah kepada-Ku” (Al Anbiya`: 25).
- Meneguhkan hati Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan hati umat beliau agar tetap berada dalam agama Allah, disamping memupuk kepercayaan diri orang beriman untuk selalu menolong kebenaran dan setiap pengikutnya, serta meninggalkan kebatilan dan para pengikutnya.
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ [هود/120]
“Kisah-kisah rasul itu Kami ceritakan semuanya kepadamu (Muhammad), agar dengan itu Kami teguhkan hatimu; dan telah datang darinya segala kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (Hud: 120).
- Membenarkan para Nabi yang terdahulu, menghidupkan kembali kisah mereka sekaligus mengabadikan ‘warisan’ mereka.
- Menampakkan kebenaran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam dakwah beliau lewat kisah umat terdahulu yang beliau sampaikan.
- Mengungkapkan kebenaran yang disembunyikan oleh Ahli Kitab (kaum Yahudi dan Nasrani) dalam kitab mereka, dan bukti akan adanya penggantian dan penyelewengan dalam kitab tersebut. Seperti firman Allah:
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ قُلْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ [آل عمران/93]
“Semua makanan itu halal bagi Bani Israil, kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’kub) atas dirinya sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah (hai Muhammad): “Bawalah Taurat itu lalu bacalah, jika kamu adalah orang-orang yang benar” (Aali Imran: 93).
- Kisah merupakan salah satu bentuk karya sastra yang enak didengar dan pelajarannya meresap dalam hati (lihat kembali QS Yusuf: 111).[2]
- Menjelaskan hikmah (kebijaksanaan) Allah lewat apa-apa yang terkandung dalam kisah tersebut; Allah berfirman yang artinya: “Sungguh telah datang kepada mereka beberapa kisah yang di dalamnya terdapat ancaman (bagi kekafiran). Itulah suatu hikmah yang sempurna, tetapi peringatan-peringatan itu tidak berguna (bagi mereka)” (Al Qamar: 4-5).
- Menjelaskan keadilan Allah lewat hukuman yang Dia timpakan atas mereka yang mendustakan. “Kami tidak menzhalimi mereka, tetapi merekalah yang menzhalimi diri sendiri. Karena itu, tidaklah bermanfaat sedikitpun bagi mereka sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah ketika siksa Tuhanmu datang…” (Hud: 101).
- Menjelaskan keutamaan Allah lewat pahala yang Dia berikan bagi orang-orang beriman. “… kecuali keluarga Luth, Kami selamatkan mereka sebelum fajar menyingsing; sebagai nikmat dari Kami. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (Al Qamar: 34-35).
- Pelipur lara bagi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam atas gangguan yang Beliau terima dari musuh-musuhnya. “Jika mereka mendustakanmu, maka sungguh orang-orang yang sebelum mereka pun telah mendustakan (para rasul) ketika para rasul itu datang dengan membawa bukti yang nyata (mukjizat), zubur, dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna. Kemudian Aku adzab orang-orang yang kafir; maka (lihatlah) bagaimana akibat kemurkaan-Ku” (Faathir: 25-26).
- Mendorong orang-orang beriman agar teguh dalam keimanannya serta berupaya meningkatkan iman mereka, karena dengan kedua hal itulah orang-orang beriman yang terdahulu selamat dan mendapat kemenangan dalam jihadnya. “Maka Kami kabulkan doanya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Dan demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman” (Al Anbiya`: 88).
- Peringatan atas orang kafir agar tidak tetap berada dalam kekafiran. “Maka apakah mereka tidak pernah mengadakan perjalanan di muka bumi, sehingga dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Allah telah membinasakan mereka, dan bahwasanya adzab yang serupa akan menimpa orang-orang kafir” (Muhammad: 10).
- Bukti akan kebenaran risalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, karena kisah-kisah umat terdahulu hanya diketahui oleh Allah. “Itulah sebagian dari berita-berita ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak pula kaummu sebelum ini; maka bersabarlah, sungguh kesudahan yang baik adalah bagi orang yang bertakwa” (Hud: 49). Dalam ayat lainnya disebutkan: “Apakah belum sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu, yaitu kaum Nuh, Ad, Tsamud dan orang-orang setelah mereka; tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah…” (Ibrahim: 9).[3]
Demikianlah secara garis besar faidah-faidah dari kisah-kisah Al Qur’an. Tentunya sekian banyak faidah tadi harus kita manfaatkan dalam kehidupan, terutama untuk mendidik generasi muda kita. Sebab dalam pendidikan Islam, kisah memiliki misi khusus yang tidak dapat diwakili oleh alat komunikasi lingual lainnya, terutama kisah Qur’ani. Hal itu karena kisah Qur’ani memiliki beberapa keistimewaan yang membuatnya sangat berkesan, mendidik, dan lama pengaruhnya. Selain itu, ia juga memancing simpati dan menghidupkan perasaan, kemudian mendorong seseorang untuk mengubah perilakunya dan memperbaharui tekadnya sesuai dengan misi dan visi yang diemban kisah tadi.
Ingatkah kita akan kisah-kisah yang sering dibacakan orang tua menjelang tidur? Kisah tersebut demikian melekat di benak kita meski kita tak lagi mendengarnya… ya, meski umurnya hampir seusia kita, namun kita mudah mengingatnya kembali. Nah, seperti itulah pengaruh kisah yang kita bacakan ke anak-anak kita. Kalau tiap menjelang tidur kita bacakan sepenggal kisah dari kisah-kisah Al Qur’an, kelak kisah tersebut akan mewarnai kepribadian mereka selama bertahun-tahun kemudian…
Sayangnya, mayoritas orang tua jarang bercerita tentang para Nabi atau orang-orang shalih kepada putera-puterinya, namun justeru cerita-cerita fiksi saja… andai dahulu mereka mengisahkan kisah-kisah Al Qur’an, pasti akan lebih bermanfaat bagi kita.
Di antara berbagai kisah tadi, kisah Ibrahim ‘alaihissallam termasuk yang paling sering disebutkan. Kisahnya tertuang dalam 25 surat, dan namanya terulang sebanyak 69 kali. Adapun jumlah ayat yang berkisah tentangnya mencapai 200 ayat. Hal ini jelas menunjukkan bahwa kisah beliau patut mendapat perhatian khusus dari kita.
Kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissallam yang tertuang dalam Al Qur’an berbicara tentang kehidupan dan perjuangan Beliau. Kisah ini meliputi berbagai sikap yang beliau ambil tatkala berhadapan dengan keluarga dan kaumnya dalam berbagai kesempatan. Setiap sikap tadi menampakkan kepada kita sosok Ibrahim ‘alaihissallam Sang kekasih Allah, yang memberi suri tauladan dalam bersikap dan menentukan langkah pada berbagai situasi yang mungkin kita alami dalam perjalanan hidup ini.
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ [الممتحنة/4]
Sungguh telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian pada Nabi Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya… (Al Mumtahanah: 4).
Anda akan dapati bagaimana sikap Beliau sebagai anak terhadap bapaknya, atau beliau sebagai bapak terhadap puteranya, atau suami terhadap isterinya, atau seorang suami di dalam rumah bersama tamu-tamunya, atau Ibrahim sebagai hamba Allah terhadap Rabbnya, atau sikap beliau sebagai seorang da’i terhadap kaumnya.
Demikianlah sepak terjang beliau yang bermacam-macam, yang setiap saat membiaskan secercah cahaya imani yang menyinari langkah kita dalam kehidupan.
Benar… inilah sosok teladan… teladan nan luhur yang patut dikenalkan ke seluruh manusia, terutama di zaman yang krisis teladan seperti ini… saat kebanyakan orang terombang-ambing kesana kemari mencari sosok panutan namun tak mendapatkannya…
Padahal Al Qur’an ada diantara kita, dan memuat di dalamnya berbagai kisah para Nabi…
أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ [الأنعام/90]
Mereka (para Nabi) itulah orang-orang yang Allah beri petunjuk, maka ikutilah mereka…
(Al An’am: 90).
Bertolak dari sini, kami ingin mengajak pendengar sekalian untuk mengkaji kisah Khalielullah alias Sang kekasih Allah, Ibrahim ‘alaihissallam. Dalam beberapa seri mendatang, kami akan lebih menitik beratkan pada faidah-faidah dan pelajaran berharga dalam kisah Ibrahim ‘alaihissallam, baik yang tercantum dalam Al Qur’an maupun Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
[1] Lihat: Al Qashash fil Qur’anil Kariem, tulisan Islam Mahmud Derbalah.
[2] Lihat: Mabahits fie ‘ulumil Qur’an, oleh Syaikh Manna’ Al Qaththan hal 317-318.
[3] Lihat: Al Qashash fil Qur’anil Kariem, tulisan Islam Mahmud Derbalah.